One Korea Center: Teror Sampah Istilah yang Lebih Tepat untuk Provokasi Korut

One Korea Center: Teror Sampah Istilah yang Lebih Tepat untuk Provokasi Korut
Balon berisi sampah yang diterbangkan Korea Utara mendarat di Korea Selatan.

Gelombang balon berisi sampah yang dikirimkan Korea Utara ke wilayah Korea Selatan sejak tanggaal 28 Mei lalau pada hakekatnya adalah teror yang dilakukan secara terus terang dan terang benderang.

Pemerintah Korea Selatan perlu merespon provokasi Korea Utara ini dan menyatukan opini publik domestik dan internasional.

Demikian antara lain disampaikan Presiden One Korea Center yang berada di Korea Selatan, Kwak Gil-sup, dalam artikelnya yang beredar awal pekan ini. 

Kwak mengatakan, istilah balon sampah yang digunakan dalam berbagai laporan media tidak akurat untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. "Teror sampah", menurutnya, merupakan istilah yang lebih tepat dan pas untuk mendeskripsikan persoalan ini.

"Banyaknya sampah telah menghina dan menimbulkan ketakutan di masyarakat Korea Selatan. Di beberapa daerah, sampah telah merusak kaca depan dan mengganggu operasional Bandara Internasional Incheon. Meski kerusakan kali ini tidak parah, namun potensi kecelakaan besar tetap ada. Dalam skenario terburuk, kita bisa membayangkan Korea Utara mengerahkan senjata biologis atau kimia dalam balon-balon tersebut, dan hal ini sangat mengerikan," tulisnya.

Korea Utara mengklaim bahwa teror sampah pertama mereka di akhir bulan Mei merupakan respon terhadap penyebaran selebaran yang dilakukan kelompok pembelot Korea Utara, Pejuang untuk Membebaskan Korea Utara, pada tanggal 10 Mei.

Namun, ini sebenarnya juga merupakan perang psikologis multiguna yang diperhitungkan, dan menjadi ujian perang hibrida yang diterapkan di Semenanjung Korea.

Kwak menilai, dalam jangka panjang, taktik Korea Utara ini merupakan perpanjangan dari strategi "kekuasaan demi kekuasaan" yang diterapkan sejak bencana diplomatik di Hanoi pada bulan Februari 2019. Sementara dalam jangka pendek, ini merupakan langkah praktis menuju “kebijakan dua Korea” yang dideklarasikan Kim Jong Un pada akhir tahun lalu.

Secara lebih langsung, hal ini merupakan bagian dari tindak lanjut keputusan yang diambil pada pertemuan Politbiro yang dipimpin oleh Kim Jong Un pada 24 Mei.

Kim Jong Un mengatur dua peristiwa penting selama pertemuan Politbiro Partai Pekerja Korea pada akhir Mei. Pertama, ia memutuskan untuk mengadakan "Rapat Pleno ke-10 Komite Sentral WPK ke-8" pada akhir Juni. Rapat pleno yang akan diadakan tepat di hadapan Majelis Rakyat Tertinggi ini akan meresmikan batas-batas baru dalam konstitusi.

Kedua, setelah mendengar laporan mengenai masalah militer dari Departemen Staf Umum, dia mengeluarkan perintah terkait yang dirahasiakan. Isi perintah ini dapat dilihat dari pernyataan Wakil Menteri Pertahanan Korea Utara Kim Kang Il pada tanggal 25 Mei, yang memperingatkan akan adanya tanggapan keras terhadap hubungan Korea Selatan-AS, latihan militer gabungan, pembagian selebaran sipil, dan pelanggaran Garis Batas Utara (NLL) Angkatan Laut Korea Selatan.

Sejak itu, tulisnya lagi, Korea Utara telah melakukan berbagai provokasi, termasuk meluncurkan satelit pengintai, teror sampah terhadap Korea Selatan, menguji sistem peluncuran roket ganda super besar (MLRS) 600mm, gangguan GPS di Laut Barat, melanggar garis demarkasi militer, dan memasang kembali siaran loudspeaker di sepanjang zona demiliterisasi.

Penangguhan bersyarat yang diumumkan Kim Kang Il pada tanggal 2 Juni dengan mengatakan Korea Utara akan memberikan "tanggapan 100 kali lipat jika selebaran didistribusikan lagi" dan peringatan Kim Yo Jong pada tanggal 9 Juni tentang "tanggapan baru terhadap distribusi selebaran dan siaran pengeras suara" juga termasuk dalam hal ini.

"Ini taktik tabrak lari yang khas yang bertujuan untuk menyalahkan Korea Selatan atas meningkatnya ketegangan, yang ditandai dengan strategi yang menimbulkan rasa takut dan berbiaya rendah serta efisiensi tinggi," tulis Kwak lagi.

Berdasarkan perkembangan saat ini, Korea Utara kemungkinan besar akan terus memprovokasi Korea Selatan dengan retorika agresif dan berbagai tindakan. Provokasi-provokasi ini bertujuan untuk menciptakan perdebatan internal mengenai 'perang atau perdamaian' dan menanamkan rasa takut akan konflik.

Pada Rapat Pleno akhir bulan Juni dan Majelis Tertinggi Rakyat bulan Juli, Korea Utara diperkirakan akan menyelesaikan dan mengumumkan perbatasan baru, menandai langkah signifikan dalam “kebijakan dua Korea” mereka.

Korea Utara kemungkinan besar akan mengeksploitasi lanskap politik Korea Selatan, yang ditandai dengan konflik dan pertentangan yang intens, serta periode perjuangan anti-Amerika antara 25 Juni hingga 27 Juli dan pada masa  latihan nuklir gabungan Korea Selatan dan AS pada bulan Agustus.

Hal ini termasuk peluncuran satelit pengintai, pengujian senjata strategis, dan kemungkinan melakukan uji coba nuklir ketujuh.

Lebih jauh, Kwak mengatakan, sejalan dengan “kebijakan dua Korea” Kim Jong Un yang anti-nasionalistik dan anti-unifikasi, teror sampah yang terjadi baru-baru ini adalah bagian dari strategi untuk menghapus kerjasama internasional yang dibangun selama ini.

Kwak menambahkan, Korea Selatan dan komunitas internasional harus mendekati Kim Jong-un dengan hati-hati.

"Untuk mengatasi masalah perilaku tidak normal ini, organisasi regional dan global seperti PBB dan anggotanya, khususnya ASEAN, yang dekat dengan Semenanjung Korea, harus memiliki suara yang kuat untuk menekan dan menegakkan sanksi yang ada terhadap Korea Utara," demikian Kwak.

Share

Korea UtaraKorea Selatan

Comments

Related Posts